Sejarah Sahu
Orang Sahu adalah salah satu etnis yang mendiami wilayah Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara. Orang Sahu menyebut diri, bahasa dan daerah mereka sebagai orang Sahu, bahasa Sahu, dan daerah Sahu. Secara fisik mereka tidak berbeda jauh dengan orang Halmahera pada umumnya yang menampilkan ciri Melayu bercampur Melanesia (Roem Topatimasang, 2004)
Masyarakat Sahu memiliki suatu kebudayaan dan adat istiadat yang khas yang dipertahankan sampai saat ini yaitu itual “orom ma sasadu”. Orom ma Sasadu adalah ritual ucapan syukur orang Sahu atas berkat dari Sang Pencipta saat panen padi. Ritual makan bersama itu digelar di rumah adat Sasadu dua kali dalam setahun. Tradisi ini sekaligus menjadi suatu identitas budaya bagi orang Sahu.
Berdasarkan sejarah lisan, masyarakat Sahu pada mulanya bernama Jio JepungMalamo (Orang yang mendiami Cekungan Besar) kemudian berganti nama menjadi Sahu. Konon nama Sahu adalah pemberian Sultan Ternate. Pergantian nama ini bermula ketika sangajiJio JepungMalamo dipanggil oleh Sultan Ternate. Karena jauh, sangaji tiba di Ternate sudah dini hari bertepatan dengan bulan Ramadhan dan sang sultan melaksanakan sahur. Dalam bahasa Ternate, waktu tersebut dinamakan Sau. Sultan kemudian berkata: “Hara kane si jou sau, dadi kane masyarakat ngana si golo ngana jiko sahu”. Artinya “karena kau (sangaji) datang pada waktu sultan sedang makan sahur maka hari ini kau akan menamakan daerahmu dengan nama Sahu” (Wawancara: Charles Rano, Ketua Adat Desa Tibobo, 2017).
Sementara oleh sejarawan Irza Arnyta Djafar (1990:32) Sahu, asal kata dari sauh yaitu alat pemberat yang dilabuhkan dari atas kapal ke laut (jangkar). Kosa kata ini didapatkan ketika saudagar Cina datang ke Halmahera dan berteriak membuang sauh. Ketika orang-orang lokal mendengar kata “sauh” merekapun menamakan daerah mereka dengan nama sauh. Lambat laun ucapan yang tidak fase dari kata sauh berubah menjadi sahu.
Benar atau peristiwa tersebut, fakta sejarah membuktikan bahwa orang
Sahu sampai abad XVII, sebagian besar masih mendiami wilayah perbukitan
Halmahera bagian barat. Hal ini terkait dengan peristiwa peperangan yang
sering terjadi di pantai/laut dan pedalaman/pegunugan adalah tempat
yang efektif untuk dihuni dan mengidentifikasi kelompok mereka sebagai ngowa’a ji’o, artinya “orang Cekungan”, penamaan tersebut terkait dengan hunian awal mereka di bukit.
Cerita lisan orang Sahu yang bearsal dari pegunungan juga ditemukan dalam karya Baretta, J.M. Halmahera en Morotai (1917). Ia mendokumentasikan bahwa di Halmahera bagian barat terdapat gunung api kembar, yaitu Duon-Toduku dan Sahu-Todako
yang berada di sisi laut dan memiliki kawah yang sudah runtuh. Gunung
api di Halmahera bagian barat menuju ke timur Tobelo terbentuk pada masa
Plio-Pleistosen yang terjadi karena tumpukan lava dan produk klasmatis
dari tempat erupsi, ini mengingatkan pada kuatnya celah-erupsi seperti tuflangen, bressie, konglomerat, debu pasir, dll.
Oleh Leontine Elisabeth Visser (1989:11), Guru Besar Antropologi
Universitas Wageningen, Belanda. Mengemukakan bahwa orang Sahu hidup
dari penanaman sagu dan berburu, yang membentuk unit-unit teritorial (garana), yang rupanya kurang lebih bersifat permanen, di lembah Akelamo (air
atau sungai besar). Mereka mengidentifikasikan diri dengan wilayah
timur dan selatan pegunungan Sahu yang sebagian tertutup oleh cekungan
besar di Akelamo. Orang Sahu menyebut area ini sebagai ji’o jepung ma lamo’o, artinya “cekungan besar” atau mengukuhkan diri mereka sebagai Ngowa’a Ji’o (orang Cekungan).
Cerita Ngowa’a Ji’o erat kaitannya dengan mitos Raja Baikole yang
menceritakan orang-orang datang dan bagaimana mereka menyebar di
berbagai sudut Cekungan Besar. Diyakini oleh masyarakat bahwa Raja
Baikole berasal dari gunung. Setalah Ngowa’a Ji’o menjadi bawahan
Kesultanan Ternate, nenek moyang Raja Baikole dikaitkan dengan unsur
Islam. Kemudian, ketika orang Belanda memperkenalkan agama Kisten
Protestan, mitos tersebut dihubungkan dengan tokoh Alkitab. Meskipun
demikian, fakta dasar tetap tak berubah bahwa anak-cucu penguasa
Baikole adalah yang mendiami dan hidup di ji’o jepung ma lamo’o.
Orang Sahu juga meyakini bahwa orang (nenek moyang Raja Baikole) yang mendiami ji’o jepung ma lamo’o bernama kiemasilut atau kiemadutu, artinya “dia yang memiliki [penguasa] gunung”. Anak lelakinya bernama Sau (bukit) disebutkan menjadi orang pertama yang hidup di Ngowa’a Ji’o.
Anak lelakinya tersebut menikahi peri dari langit ketujuh, kemudian
mewarisi 4 generasi penguasa, hingga penguasa terakhir – Raja Baikole –
yang turun dari gunung. Raja Baikole menggunakan nama burung hitam dan
putih. Raja Baikole menikahi Putri Dahingora yang mendiami Danau Rano di
pegunungan (Ibid).
Sahu Tala’i dan Pa’disua
Beberapa informan dilapangan menyebutkan bahwa orang Sahu terbagi atas
dua kelompok yaitu Sahu Tala’i dan Pa’disua. Dikisahkan oleh Charles
Rano (79) Tala’i, artinya “menyahut dan menghadap” kepada Sultan Ternate
ketika dipanggil. Sementara Tala’i artinya “tidak menyahut atau tidak
menghadap” kedapa sultan Ternate ketika dipanggil”.
Ketua Adat Tibobo, Charles menyampaikan bahwa, Orang Sahu Tala’i
diartikan “orang yang menyahut dan menghadap” sultan Ternate ketika
dipanggil dengan maksud mengabdi kepada sultan, sebagai bala (prajurit)
Kesultanan Ternate. Serta memiliki kewajiban untuk mengirimkan upeti
(pajak) hasil pertanian bila diminta oleh sultan. Sementara orang Sahu
Pa’disua, mengelompokan diri mereka sebagai orang Sahu yang “tidak
menyahut atau tidak menghadap” sultan Ternate, tidak mau menjadi bala dan tidak mengirimkan upeti pada kesultanan Ternate.
Ikatan orang Sahu dan Kesultanan Ternate juga terdapat pada “bubungan sasadu milik orang Sahu Worat-Worat”. Bubungan atau Wala Mayoa
(Fala Jawa) yaitu “rumah kecil yang terdapat di ujung sasadu”, diyakini
adalah pemebrian sultan Ternate sebagai bentuk pengormatan sultan
kepada orang Wort-Worat yang setia mengirimkan upeti dan prajurit yang
tangguh. Wala Mayoa akan diputar menghadap ke arah gunung Gamlama (Kesultanan Ternate) saat berlangsungnya acara makan sukur
(Wawancara: Gaspar, Tokoh Adat Worat-Worat, 2018). Kenyataannya orang
Worat-Worat adalah pemeluk agama Kristen Protestan sejak turun-temurun.
Namun oleh De Clercq (1890:150) etimologi nama Tala’i dan Pa’disua
disebutkan berdasarkan fakta bahwa, nama Tala’i adalah salah satu
perwakilan sultan Ternate yang bertemu ketika mereka mencoba
memperkenalkan Islam di wilayah tersebut sekitar tahun 1500. Sementara
kelompok yang belakangan menyebut diri mereka sebagai Pa’disua, tidak
bertemu perwakilan sultan dan tidak mengirimkan upeti kepada sultan.
Kesatuan budaya kelompok Tala’i dan Pa’disua dapat dilihat pada tradisi
membangun rumah seremonial dan perayaan pesta panen dan makan adat.
Kesatuan budaya Tala’i dan Pa’disua menunjukan keberagaman variasi dalam
tradisi. Variasi tersebut dapat diihat dalam adat, baik dalam hal
konstruksi dan simbolisme rumah seremonial. Berdasarkan keberagaman ini
bahwa kelompok Tala’i dan Pa’disua dan juga desa-desanya sendiri yang
termasuk dalam kelompok ini mendefinisikan identitas diri mereka
masing-masing di dalam kesatuan teritorial Cekungan Besar (Visser,
1989:11).
Sebaran Orang Sahu
Terlepas dari cerita di atas, bukti sejarah terbentuknya kelopmpok Sahu
Tala’i dan Padisua adalah dengan melihat dari perbedaan dialek bahasa
antara kedua kelompok tersebut. Selain itu, peninggalan sejarah lainnya
adalah adanya salah satu masjid tua yang terletak di bagian utara Desa
Balisoan. Masjid tersebut diberi nama Masjid Munahar. Pada masa itu,
lokasi masjid tua adalah sebuah kampung yang dihuni oleh masyarakat Sahu
yang memeluk agama Islam. Dalam perkembangannya, masyarakat Sahu
penganut ajaran Islam berpindah tempat tinggal ke daerah pesisir pantai
yang dalam bahasa Ternate disebut “Ngori Dia Supu Hoko” (kami di hutan
keluar ke pantai). Orang-orang yang pertama kali keluar ke pesisir
pantai di antaranya Korsa Jokomole, Letnan Pancona, Johoku Mbudo. Tiga
marga tersebut adalah keturunan orang Sahu yang menganut agama Islam,
sehingga ada salah desa di Kecamatan Sahu yang penduduknya sebagian
besar adalah pemeluk agama Islam dan diberi nama Desa Susupu. Susupu, artinya, “keluar ke pantai” (Wawancara: Hidayat Amir, Tokoh adat di Desa Tacim, 2019).
Cerita tentang Susupu, sampai saat ini masih diyakini oleh orang Sahu, Worat-Worat. Dikisahkan bahwa: Ma’Olan Ternate ailo rata, ona kela-kela ansanga duduh nga dua. Matange de una sanga dudekar nyang una ne manyira mo siwor. Mangira una kalau ma nyoa wae ona adu si a’a mangi lililami, kalu ngoa nanau’u ona ya asenjene kara mangina mo ise ne. Dua muna a si dufa toma ngi’i rimoi dufa-dufa kara manyira masiraringe. Kalu ngana notudu dere nena berarti ngana ani dai raha.
Una tuda toma ngunguming tuadi toma dodbong, tuadi toma disang dadi una okarepa. Oupe touna karasikase toma kie ma tubu. Dadi karepa maseie yakimoi re rom dadi ena isitowa una u’ngoa ngier kera una lamo-lamo, kara ngoa Tacim adudisa usar kena-kena ela wedi kara ana ma dipa adu siaele nyoakam. Ona toma sigare re mamior nga tumding ane dusie oro una.
Artinya:
Konon, pada zaman dahulu sultan Ternate memiliki empat orang anak laki-laki yang gagah dan kelak sudah dijanjikan kedudukan dalam kesultanan Ternate. Pada suatu saat, ketika mendengar permaisurinya hamil, sultan bersama keempat anaknya berencana untuk membunuh anak tersebut bila anak yang dilahirkan berjenis kelamin laki-laki. Hal itu akan dilakukan karena keempat anak tersebut takut tidak mendapat kekuasaan.
Niat jahat dari keempat anak beserta ayahnya diketahui oleh pemaisuri. Pemaisuripun berniat untuk menyelamatkan anaknya yang kelima sekalipun berjenis kelamin laki-laki. Tiba saatnya pemaisuripun melahirkan pada dini hari (subuh). Ketika anaknya lahir dan mengetahui bayi tersebut berjenis kelamin laki-laki, pemaisuripun secara diam-diam pergi meninggalkan istana dan berjalan kaki menuju pantai utara pulau Ternate. Sang ibu kemudian mengambil dufa (pelepah pohon pinang) untuk meletakkan bayi tersebut kemudian dihanyutkan ke laut.
Orang Worat-Worat yang menemukan anak tersebut langsung memeliharanya sampai dewasa. Kemudian orang Worat-Worat bersama anak itu pindah ke wilayah si supu. Anak tersebut kemudian diberi gelar sondata yang artinya anak yang tidak punya kekuasaan di Ternate. Sejak saat itu, tradisi makan bersama di Sasadu yang dilakukan di Sahu selalu melibatkan orang Susupu karena anak yang bergelar sondata tersebut adalah keturunan sultan Ternate (Wawancara: Gaspar, Ketua Adat Desa Worat-Worat, 2019)
Sementara, Visser (1989) memberikan hipotesis bahwa, pola pemukiman orang Sahu-Tala’i secara berangsur-angsur melintasi sungai, sedangkan orang Sahu-Pa’disua pertama-tama bermigrasi ke arah selatan di sepanjang sungai sebelum menyeberanginya. Selama berabad-abad, populasi Tala’i telah berkembang, dan wilayah Cekungan Besar semuanya telah menjadi area pertanian. Saat ini bagi orang Sahu-Pa’disua, meskipun desa-desa mereka bertempat di sisi kanan (barat) sungai, mereka harus menyeberang ke sisi kiri sungai untuk mengelolah ladang mereka.
Saat ini kelompok Sahu Tala’i terdapat di kampung/desa Gamomeng, Idamgamlamo, Loce, Golo, Balisoan, Tacim, Todahe, Worat-Worat (Kecamatan Sahu) dan Lolori, Toboso, Gamtala, Idam Dehe (Kecamatan Jailolo). Kelompok Pa’disua terdapat di kampung/desa Akelamo, Tarkus, Awer, Aketola, Tibobo, Hoku-Hoku Gam, Gamyal, Campaka, Ngaon, Gamsungi, Taraudu, dan Tacici (Kecamatan Sahu Timur).
Selain perbedaan wilayah hunia antar kelompokTala’i (pesisir)dan Pa’disua (pedalaman), perbedaan juga terdapat pada bunyi ucapan terhadap fonem tertentudan tekanan, meskipun yang terakhir ini bersifat tidak membedakan (non distinctive).
Dialek-dialek bahasa Sahu Tala’i bersesuaian dengan penduduk Kecamatan Sahu karena orang Sahu Tala’i menyebut dirinya sebagai orang yang patuh atas perintah sultan. Namun dalam perkembangannya, bahasa masyarakat Sahu Tala’i tidak digunakan untuk semua desa di Kecamatan Sahu karena sudah dipengaruhi dengan bahasa Ternate. Hanya beberapa desa yang masih mempertahankan bahasa Sahu dengan dialek yang kasar, seperti Desa Balisoan, Worat-worat, dan Tacim (salah satu desa Muslim di Kecamatan Sahu). Sementara, dialek Sahu Padisua adalah bahasa yang dipakai di wilayah Kecamatan Sahu Timur. Bahasa Sahu Padisua dituturkan dengan logat datar tanpa intonasi tertentu. Jadi, berbeda dengan bahasa Sahu Tala’i dengan logat yang kental. Dialek Sahu Padisua yang asli dituturkan di Desa Loce, Idam, dan Gamomeng.
Sumber : Cengkeh.co